Benturan Kepentingan Korporasi dan Pendidikan: Nasib Santri TPQ di Ujung Tembok Beton
Pernyataan yang dianggap merendahkan nilai tempat pendidikan tersebut disampaikan dalam forum resmi yang membahas dugaan tindakan sewenang-wenang PT Timurama menutup akses TPQ dengan membangun tembok beton di sekelilingnya. Akibat penutupan itu, selama 32 hari terakhir, sekitar 70 santri TPQ Alimul Ilmi terpaksa menjalani proses belajar-mengaji di pinggir jalan dan rumah-rumah warga di Kelurahan Maccini Sombala, Kecamatan Tamalate.
RDP yang berlangsung di Gedung DPRD Kota Makassar dipimpin oleh Sekretaris Komisi A, H. Irwan Djafar, didampingi anggota dewan Tri Sulkarnaain Ahmad. Rapat ini dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk perwakilan Pemerintah Kota Makassar, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Bagian Pertanahan, Camat Tamalate, Lurah Maccini Sombala, kuasa hukum dan direktur PT Timurama, serta perwakilan dari GP Ansor dan LBH Ansor, LKP3A Fatayat NU Makassar, FKTPQ Makassar, pengelola TPQ Alimul Ilmi, serta sejumlah tokoh masyarakat.
Dalam forum tersebut, pimpinan rapat secara tegas mempertanyakan motif di balik tindakan PT Timurama yang secara sepihak menutup ruang belajar yang telah berdiri dan aktif digunakan sejak tiga tahun lalu. Hal ini bertentangan dengan klaim pihak perusahaan yang menyebut bangunan itu baru berdiri pada Mei 2025.
Perwakilan dari pemerintah, BPN, dan Bagian Pertanahan menyampaikan bahwa meski proses hukum atas status lahan dapat terus berjalan, namun akses pendidikan bagi anak-anak tidak boleh dikorbankan. Mereka menyerukan agar tembok penutup segera dibongkar dan ruang belajar dikembalikan ke fungsinya semula.
DPRD Kota Makassar melalui Komisi A menyatakan akan mengeluarkan rekomendasi resmi kepada pihak-pihak terkait, sebagai bentuk keberpihakan terhadap hak-hak anak dalam memperoleh pendidikan agama. Rekomendasi tersebut diharapkan menjadi dasar pembongkaran tembok penghalang akses ke TPQ.
Ketua GP Ansor Makassar, Muhammad Rizal alias Ichal, menyampaikan pernyataan tegas dalam merespons narasi diskriminatif yang dilontarkan kuasa hukum perusahaan.
“TPQ Alimul Ilmi bukan rumah gubuk. Ini adalah rumah ilmu tempat anak-anak kami belajar mengaji, mengenal nilai-nilai agama, dan membangun karakter. Pernyataan seperti itu mencederai martabat pendidikan masyarakat. Kami akan kawal kasus ini sampai hak anak-anak dikembalikan sepenuhnya,” ujar Rizal.
Senada dengan itu, Wahyudi, perwakilan LBH GP Ansor yang mendampingi kasus ini, menilai bahwa pendidikan tidak boleh dipolitisasi apalagi dikorbankan demi kepentingan bisnis. Ia menegaskan bahwa tindakan sepihak yang mengorbankan anak-anak tidak hanya melanggar norma sosial, tetapi juga prinsip keadilan.
Muhammad Akbar, pemilik lahan yang ditempati TPQ, juga turut hadir dan memberikan pernyataan bahwa semua pihak wajib menghormati proses hukum yang tengah berjalan, bukan justru mengambil tindakan sepihak yang mengakibatkan kerugian sosial.
“Tidak ada alasan untuk mempermainkan nasib santri. Pendidikan anak-anak harus menjadi prioritas utama. Apalagi TPQ ini telah aktif sejak tiga tahun lalu dan menjadi tempat harapan warga sekitar,” tandas Akbar.
Sebagai bentuk keseriusan dalam penyelesaian konflik ini, Komisi A DPRD Kota Makassar telah menjadwalkan RDP lanjutan. Dalam undangan resmi RDP kedua tersebut, seluruh pihak hadir kecuali Kapolsek Tamalate yang tercatat tidak menghadiri agenda rapat.
Konflik ini menjadi perhatian publik luas karena menyangkut hak pendidikan anak-anak serta potensi benturan antara kepentingan korporasi dan ruang-ruang sosial keagamaan di tengah masyarakat. (*)

